Pemerintahan Aceh, adalah salah satu Propinsi Indonesia yang terletak di ujung Barat Laut Pulau Sumatera, diapit oleh dua laut, yaitu Lautan Indonesia dan Selat Malaka. Secara Astronomis dapat ditentukan bahwa daerah ini terletak antara 950 13’ dan 980 17’ Bujur Timur dan 20 48’ dan 50 40’ Lintang Utara. (JMBRAS, 1879 : 129). Posisi itu menempatkan Aceh sebagai tempat yang sangat strategis, karena merupakan pintu gerbang lalulintas perdagangan dan pelayaran internasional.
Mengingat letaknya yang sangat strategis ini, maka tidak mengherankan jika pada zaman Kerajaan Aceh dahulu, banyak didatangi oleh berbagai bangsa asing dengan berbagai kepentingan perdagangan, diplomasi dan sebagainya. Kedatangan berbagai bangsa Asing merupakan hal yang penting bagi perkembangan Aceh itu sendiri, baik secara politis, kultural maupun ekonomis. Meskipun demikian, di antara bangsa- bangsa asing yang datang tersebut tidak semua menguntungkan bagi Kerajaan Aceh. Hal ini terbukti dengan adanya bangsa yang ingin menguasai daerah untuk kepentingan kolonial dan imperialismenya.
Munculnya imperialisme dan kolonialisme menimbulkan antagonisme dan reaksi dari berbagai pihak yang merasa dirugikan. Banyak kerajaan-kerajaan di Nusantara yang akhirnya berperang dengan kaum pendatang yang mengedepankan semangat imperialisme dan kolonialisme Barat adalah Kerajaan Aceh Darussalam.
Perjuangan wanita Aceh dan kancah peperangan telah memberi warna tersendiri dalam sejarah perjuangan Aceh. Sederetan nama muncul seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren dan pejuang wanita lainya.
Peran mereka sangat besar, tak pernah ada rasa gentar mendampingi suami turun langsung ke medan pertempuran untuk mengusir penjajah, meskipun melintasi hutan yang penuh marabahaya di dalam hutan belantara terkadang mereka harus menahan lapar dan dahaga namun semangat mereka tidak pernah sirna dalam membela tanah air dan agama.
Cut Nyak Dien, salah satu pahlawan wanita Indonesia bermental baja asal Aceh, wanita yang terkenal dalam perlawanan melawan penjajahan Belanda
Cut Nyak Dien, tidak pernah merasa takut dan ikut berperang di medan pertempuran bersama para pejuang kaum lelaki untuk mengusir penjajah. Meski beliau seorang wanita, Cut Nyak Dien tidak gentar dan dengan gagah berani terus memimpin perlawan melalui perang greliya untuk mengusir Belanda.
Cut Nyak Dien, merupakan sosok yang ditakuti oleh para tentara Belanda. Karena mampu mengobarkan semangat api perjuangan dan berdiri koko pada barisan depan depan untuk memimpin pasukan perlawanan rakyat Aceh.
Memasuki usia 12 tahun, Cut Nyak Dien sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII.
Dikutip situs resmi Provinsi Aceh, Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh 1848 dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar.
Cut Nyak Dien, mulai ikut angkat senjata dan berperang di medan pertempuran mengusir Belanda pada 1880. Itu tidak lepas dari tewasnya suami Cut Nyak Dien, Teuku Cek Ibrahim Lamnga saat bertempur pada 29 Juni 1878.
Kematian suaminya membuat Cut Nyak Dien begitu sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan penjajah Belanda.
Pada 1880, Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar dan mempersilahkan ikut bertempur di medan perang.
Bergabungnya Cut Nyak Dien berhasil meningkatkan moral semangat perjuangan rakyat Aceh untuk melawan balatentara Belanda.
Kemudian perang dilanjutkan secara gerilnya dan dikorbankan perang fisabilillah.
Guru Besar Universitas Indonesia dan juga pakar politik Prof Dr Bahktiar Aly mengatakan
Kekuatan Wanita Aceh
Berbicara masalah gender, Aceh dapat dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesia. Sejarah panjang yang dimiliki daerah ini membuktikan bahwa para wanita Aceh telah mengukir sejaran nasional dan mendarmabaktikan dirinya dalam berbagai bidang, baik sebagai pemimpin di tingkat paling rendah sampai dengan pemimpin tertinggi di masyarakat. Dalam struktur masyarakat wanita mempunyai otonomi yang cukup, yang mana tampak pada sebutan po rumoh bagi wanita. (Sufi, 1997). Di bidang lain terlihat dari adanya wanita yang menjadi Sultanah (wanita kepala pemerintahan Kerajaan Aceh), laksamana (pemimpm angkatan perang), uleebalang (kepala kenegerian) dan tidak sedikit yang berperan sebapai pemimpin perlawanan terhadap penjajah.
Peran wanita di Aceh dalam bidang peperangan secara panjang lebar telah diuraikan oleh H.C. Zentgraff. Dia menyebut para wanita Aceh sebagai “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) dan grandes dames (wanita-wanita besar). Keberanian dan jiwa kesatriaan para wanita Aceh melebihi kodrat wanita yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita kebangsaan dan keagamaannya dan wanita Aceh berada, baik di belakang layar maupun secara terang-terangan menjadi pemimpin perlawanan melawan penjajahan. Wanita Aceh rela menerima hidup dalam kancah peperangan. Di balik tangan halus mereka serta sifat lemah-lembut, kulit halus, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya di tangan pejuang wanita Aceh.
Presiden Pertama Repoblik Indonesia Bung Karno, salah seorang proklamator kemerdekaan RI, pernah mengingatkan kepada kita dengan mengatakan “hanya bangsa yang besarlah yang menghormati pahlawan-pahlawannya”. Para pahlawan yang telah berjuang mati-matian, mengorbankan harta benda dan bahkan jiwa demi mempertahankan kehormatan nusa, bangsa, dan agama. Mereka adalah manusia-manusia besar yang dilahirkan seirama dengan panggilan sejarah. Merekalah yang telah menghantarkan kita pada kondisi seperti saat ini. Salah satu daerah yang banyak menyimpan kenangan sejarah terhadap perlawanan para pahlawan atau pejuang adalah Aceh.
Kisah Heroik Cut Nyak Dhien, Pantang Mundur Melawan Belanda hingga Akhir Hayat
Monolog Cut Nyak Dhien Sha Ine Febriyanti dikenal sebagai ratunya Aceh, sosok Cut Nyak Dhien merupakan salah satu pahlawan Nasional Indonesia yang ikut berjuang melawan Belanda pada saat masa Perang Aceh terjadi.
Sepanjang perjalanan hidupnya, Cut Nyak Dien terus melakukan perlawanan kepada para penjajah di Aceh demi terbebasnya bangsa Indonesia dari penjajahan.
Lahir di Lampadang, Kesultanan Aceh pada tahun 1848 sosok Cut Nyak Dhien ini merupakan sosok perempuan yang ditakuti oleh Belanda, karena sosoknya mampu mengobarkan semangat perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda.
Berawal pada tahun 1878, Teuku Cek Ibrahim Lamnga yang merupakan suami dari Cut Nyak Dhien gugur saat berperang melawan Belanda. Hal tersebut membuat Cut Nyak Dhien marah, dia berjanji akan menghancurkan Belanda.
Hingga pada tahun 1880, Cut Nyak Dien mulai ikut berperang melawan Belanda.
Kemudian di tahun yang sama, pada tahun 1880 Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar.
Semangat Juang Rakyat Aceh dan
Suaminya Teuku Umar mempersilakan Cut Nyak Dhien untuk ikut bertempur di medan perang melawan Belanda.
Bergabungnya Cut Nyak Diien ini berhasil meningkatkan semangat juang para rakyat Aceh untuk melawan Belanda.
Peperangan yang dilakukan setiap hari membuat fisik Cut Nyak Dhien makin hari makin melemah. Hingga akhirnya Belanda dapat menangkap sosok Cut Nyak Dhien dan mengasingkannya di Sumedang.
Di tempat pengasingannya sosok Cut Nyak Dhien mengajarkan ilmu agama dan Al-Qur’an kepada rakyat sekitarnya. Hingga beliau wafat pada 06 November 1908 karena sakit sakitan yang di alaminya. (SAID)