IMAM Nawawi dalam al-Adzkar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dzikir adalah kehadiran hati. Hal ini hendaknya menjadi tujuan utama dari para ahli zikir. Ia harus berusaha keras untuk merealisasikannya, memikirkan makna dzikir yang dibacanya dan memahami maknanya. Dzikir seperti ini yang dapat menerangi hati.
Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu menganjurkan umatnya memperbanyak berdzikir mengingat Allah. Namun di antara semua zikir yang beliau ucapkan terdapat dzikir yang paling dicintainya melebihi semua yang tersinari matahari.
Sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim melalui Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda,
Sesungguhnya kuucapkan kalimat, “Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallaaha wallahu akbar; Maha Suci Allah segala puji bagi-Nya, tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar, lebih aku cintai dari pada semua yang disinari oleh matahari.” (HR. Muslim)
Menurut Imam Nawawi sangat disunnahkan banyak-banyak berzikir dengan doa seperti diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadis di atas.
Al Munawi rahimahullah mengatakan, “Segala sesuatu yang dikatakan antara langit dan bumi, atau dikatakan lebih baik dari sesuatu yang terkena sinar matahari atau tenggelamnya, ini adalah ungkapan yang menggambarkan dunia dan seisinya.” (Faidul Qodir, Al Munawi, Masqi’ Ya’sub, 5/360).
Dari sini menunjukkan bahwa keempat kalimat tersebut lebih baik daripada dunia seisinya.
Yang dimaksud bacaan tasbih (subhanallah = Maha Suci Allah) adalah menyucikan Allah dari segala kekurangan yang tidak layak bagi-Nya.
Yang dimaksud bacaan tahmid (alhamdulillah = segala puji bagi Allah) adalah menetapkan kesempurnaan pada Allah dalam nama, sifat dan perbuatan-Nya yang mulia.
Yang dimaksud bacaan tahlil (laa ilaha illallah = tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) adalah berbuat ikhlas dan mentauhidkan Allah serta berlepas diri dari kesyirikan.
Yang dimaksud bacaan takbir (Allahu akbar = Allah Maha Besar) adalah menetapkan keagungan atau kebesaran pada Allah Ta’ala dan tidak ada yang melebihi kebesarannya. (Lihat risalah sederhana dengan judul Fadhlu Kalimatil Arba’, Syaikh ‘Abdur Rozaq bin ‘Abdul Muhsin Al Badr).
Empat kalimat mulia tersebut bisa berfaedah jika bukan hanya di lisan, namun direnungkan maknanya di dalam qolbu, dalam hati yang paling dalam.