Dzulmi Eldin Kehilangan Hak Politik Selama 5 Tahun
Walikota Medan nonaktif Dzulmi Eldin dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum KPK, Siswandono, dengan hukuman 7 tahun penjara dan pencabutan hak politiknya selama 5 tahun.
Menurutnya, Dzulmi Eldin telah terbukti melakukan permufakatan jahat dengan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dengan Syamsul Fitri sebesar Rp 2,1 miliar.
“Menuntut, dengan ini meminta kepada majelis hakim yang menyidangkan dan memeriksa perkara ini untuk menghukum terdakwa Tengku Dzulmi Eldin, selaku Wali Kota Medan Tahun 2016 – 2021 dengan hukuman penjara 7 tahun,” pintanya kepada Majelis Hakim, Abdul Aziz, melalui sidang video confrance di ruang Cakra II Pengadilan Tipikor Medan, Kamis(14/5/2020).
Baca Juga : Dzulmi Eldin Dituntut 7 Tahun Penjara
“Terdakwa juga dikenakan tuntutan tambahan dengan pencabutan hak politiknya selama 5 tahun,” tambahnya lagi.
Selain itu, Dzulmi Eldin juga dikenakan denda sebesar Rp 500 Juta dan subsider 6 bulan kurungan.
Dzulmi Eldin Kehilangan Hak Politik
Menurut jaksa, Terdakwa Dzulmi Eldin terbukti melanggar dakwaan pertama dengan pasal 12 huruf a UU RI No 31 Tahun 1999.
“Perbuatan Terdakwa telah melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana,” jelas Siswandono.
Dijelaskannya, hal yang memberatkan terdakwa karena terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi, dan terdakwa tidak koperatif dalam persidangan.
“Melainkan yang meringankan terdakwa Dzulmi Eldin belum pernah dihukum,” terang Jaksa.
Setelah selesai amar putusan dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK, Majelis hakimpun meminta kepada terdakwa untuk menyiapkan nota pembelaannya (pleidoi), dan terdakwa menyerahkan sepenuhnya kepada penasihat hukumnya Junaidi Matondang.