JAKARTA – Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan dari informasi yang ia dapatkan sebanyak 1.964 PNS yang terlibat korupsi belum diberhentikan. “Sampai dengan saat ini sekitar 1.964 orang PNS belum diberhentikan dengan tidak hormat. Meskipun mereka sudah divonis bersalah melakukan korupsi berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap,” terang Febri di Gedung KPK Jakarta, Senin (28/1).
Angka tersebut adalah angka yang sangat banyak. Jika PNS yang ada dipusat dan didaerah belum diberhentikan sementara mereka masih mendapatkan gaji dan tunjangan, maka ada resiko kerugian keuangan negara yang lebih besar.
“Jadi negara bisa rugi dua kali. karena itu kami sangat sesalkan lambatnya sikap PPK di sini adalah pejabat Pembina kepegawaian kalau di daerah itu kepala daerah kalau di Kementrian itu pejabat yang ditunjuk di sana yang sangat lambat melakukan pemberhentian terhadap para PNS yang terbukti korupsi ini,” tutur Febri.
“Kami Ingatkan agar kita semua tidak bersikap kompromi terhadap pelaku korupsi apalagi 1.900-an orang yang belum di berhentikan adalah mereka yang sudah divonis bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap memang ada judicial review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi sejak Oktober tahun 2018, namun judicial review itu tidaklah seharusnya tidak menghentikan proses penegakan aturan berdasarkan putusan yang sudah inkrah tadi. Jadi kami Ingatkan agar kita semua tidak kompromi dengan para pelaku korupsi tersebut,” tambah Febri.
Diketahui ada 2.357 orang PNS yang sudah terbukti bersalah melakukan korupsi tapi belum diberhentikan. Padahal target pemberhentian adalah akhir tahun 2018.
Sampai dengan pertengahan Januari 2019 baru 393 orang yang diberhentikan tidak hormat dari 2.357 dalam daftar yang sudah dipegang oleh BKN tersebut. Meskipun,ada tambahan sekitar 498 PNS yang sudah diberhentikan dengan tidak hormat. Sehingga total adalah 891 PNS diberhentikan.
Saat ini, sambung dia, KPK sedang terus bekoordinasi untuk memastikan ketidakpatuhan atau hambatan dalam pemberhentian ini. Terlebih sejak 13 September 2018 telah ditandatangani Keputusan Bersama Mendagri, Menpan RB dan Kepala BKN.
“Seharusnya hal ini dipatuhi,” tegasnya.
Diketahui, utuk instansi Pusat, dari 98 PNS yang divonis bersalah karena korupsi, baru 49 orang yang diberhentikan. Beberapa kementerian tercatat belum memberhentikan sejumlah PNS yang melakukan korupsi.
Tercatat Kementrian yang belum memecat pegawainya adalah Kementerian PUPR: 9 orang; Kemenristek Dikti: 9 orang; Kementerian Kelauatan dan Perikanan: 3 orang; Kementerian Pertahanan: 3 orang dan Kementerian Pertanian: 3 orang.
Sedangkan Kementerian yang terbanyak memberhentikan PNS terbukti korupsi adalah Kementerian Perhubungan 17 orang dan Kementerian Agama 7 orang
Febri menambahkan, seharusnya Judicial Review yang diajukan ke MK tidak bisa menjadi alasan untuk menunda aturan yang telah jelas tersebut.
“KPK mengimbau agar Pimpinan instansi serius menegakan aturan terkait dengan pemberhentian tidak dg hormat thd PNS yg korupsi tersebut. Karena sikap kompromi terhadap pelaku korupsi, selain dapat mengikis kepercayaan masyarakat thd pemerintah, juga beresiko menambah kerugian keuangan negara karena penghasilan PNS tersebut masih harus dibayarkan negara,” tegasnya.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengungkapkan ada sejumlah alasan PNS tervonis korupsi tak kunjung dipecat. Salah satu alasannya kepala daerah mengaku belum menerima salinan putusan dari Majelis Agung (MA).
Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan mengatakan dari Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN disebutkan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) berwenang mengangkat, merotasi dan menghentikan PNS. PPK di tingkat Kementerian ialah Menteri dan di tingkat daerah yaitu kepala daerahnya. Ia menekankan cepat atau lambatnya pemecatan PNS dalam bentuk pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) tergantung PPK. BKN, kata dia tugasnya mendata PNS tervonis korupsi dan telah inkrah (berkekuatan hukum tetap).
“Persoalan lambat karena PPK mengaku enggak terima salinan amar putusan MA. Makanya kami gandeng MA biar pas sudah inkrah maka salinannya cepat dikasih ke PPK biar ditindak secara administratif,” katanya menjawab wartawan, Senin (28/1).
Menurutnya, wajar bila PPK menunggu adanya salinan putusan MA. Sebab, keputusan PPK berpeluang dituntut di kemudian hari jika tak sesuai dengan hal itu. Sehingga, BKN mengaku akan memperkuat koordinasi dengan MA supaya tiap salinan putusan secepatnya diberikan pada PPK.
“Tanpa salinan itu maka enggak ada dasarnya khawatir bisa di PTUN-kan. PPK akhirnya ragu-ragu, takut salah orang,” ujarnya.
Selain itu, ia menyebut adanya PPK yang nakal tak memecat PNS tervonis korupsi. Menurutnya, PPK kerap berdalih kasus yang diterima PNS itu merupakan beban PPK sebelumnya. Kemudian, PPK tersebut yang mayoritasnya kepala daerah enggan melaksanakan pemecatan.
“Ada keengganan PPK, bisa saja anggap problem bupati terdahulu. kok mereka merasa harus membersihkan kesalahan bupati sebelumnya. Tapi ini kewajiban PPK eksisting kapan pun terjadi tipikor,” ucapnya.
Tak berhenti di situ, ia mengatakan keputusan memecat PNS tervonis korupsi sering dibenturkan dengan alasan kemanusian. Ia mengungkapkan ada pihak yang membela para PNS tersebut. Padahal menurutnya, pemecatan itu sudah disandarkan hukum yang berlaku. Terlebih lagi, pemecatan semestinya dilakukan 30 hari seusai keluar inkrah dari pengadilan.
“Kami sampaikan unsur kemanusiaan ada dalam putusan hakim sebelumnya. Kalau mau rasa keadilan maka sudah lewat,” tegasnya.