Literasi Media Cegah Hoax Pandemi Covid -19
Oleh: Dr Ribut Priadi, S.Sos, M.IKom
Pandemi Covid -19 di Indonesia menjadi topik yang selalu menarik perhatian publik. Segala hal yang menyangkut perkembangan pandemi Covid -19 tidak luput dari pemberitaan. Namun sejalan dengan itu, pandemi Covid -19 juga menjadi bahan penyebaran berita hoax.
Jumlah kasus penyebaran berita bohong atau hoax terkait virus Corona di Indonesia bertambah seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya jumlah korban serta dampak pandemi yang meluas. Berdasarkan catatan pihak kepolisian yang dikutip detik.com 28 April 2020 kasus hoax terkait COVID-19 yang ditangani polisi mencapai angka 99. Jumlah itu diyakini terus bertambah karena pandemi Covid -19 tak cuma persoalan kesehatan semata, tapi melebar ke masalah ekonomi, politik dan sosial.
Mengutip Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra dalam konferensi pers yang dikutip media, (28/4), dari 99 kasus hoax, terbanyak ada di Polda Metro Jaya, yakni 13 kasus. Sebanyak 12 kasus ditangani Polda Jatim dan sisanya ditangani Polda di sejumlah wilayah.
Jumlah itu terhitung sejak awal masuknya Corona ke Indonesia. Kasus Covid -19 pertama yang terjadi di tanah air menimpa dua warga Depok, Jawa Barat yang diduga tertular dari warga negara Jepang yang berkunjung ke Indonesia. Kasus pertama ini
diumumkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3).
Bila melihat data jumlah kasus berita bohong Covid -19 yang dilansir Polri dibanding dengan masa pandemi yang berlangsung maka bisa dikatakan setiap hari ada dua berita bohong yang disebar.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lebih banyak lagi, ada 1096 isu hoaks terkait pandemi corona terhitung sampai 7 April 2020 sebagaimana dikutip Katadata.co.id. Jumlahnya sangat besar kemungkinan masih akan terus bertambah.
Maraknya berita bohong tentang Covid -19 ini cukup meresahkan masyarakat. Banyaknya informasi yang menyesatkan seputar penyebaran virus corona ini juga melahirkan kebingungan di masyarakat dalam menyikapi apa yang terjadi. Informasi bohong yang masif tersebar di media sosial ini juga membuat upaya-upaya penanggulangan pandemi Covid -19 menjadi terhambat.
Banyaknya berita bohong yang disebar melalui Medsos menunjukkan ada banyak motif dan kepentingan di dalamnya. Bila merujuk pada hasil penyelidikan yang dilakukan Polri, para pelaku menyebarkan hoax tersebut dengan berbagai modus. Motifnya dari mulai iseng, sebagai bahan bercandaan sampai ketidakpuasan terhadap pemerintah. Terlepas dari motif para pelaku penyebar berita bohong, namun dampaknya sangat besar dan merugikan masyarakat.
Wajar jika Polri mengambil langkah tegas menjerat para pelaku dengan ancaman hukuman sesuai Pasal 45 UU ITE berupa ancaman pidana 6 tahun penjara. Para penyebar berita hoax juga dijerat Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dengan ancaman pidana 10 tahun penjara.
Maraknya berita bohong pandemi Covid -19 tidak terlepas dari keberadaan virus corona yang terbilang baru dan masih menyisakan banyak misteri sehingga membuat segala informasi tentang itu menjadi menarik. Apalagi dlampak pandemi Covid -19 ini ternyata tidak melulu soal kesehatan, tapi ke seluruh sendi kehidupan manusia. Maka pembahasan tentang virus corona yang awalnya masalah kesehatan berkembang ke banyak perspektif, sosial, agama, ekonomi, politik sampai ke hubungan internasional. Hal ini yang membuka lebar ruang bagi para pelaku penyebar berita bohong untuk menjalankan modus dan menarik keuntungan..
Hari ini kita lihat, orang-orang yang berbicara tentang corona dari berbagai sudut pandang memenuhi ruang-ruang media massa dan jagad media sosial. Apa yang disampaikan dan menyebar di ruang-ruang media itu tentu ada yang sesuai dengan keilmuan dan kapasitasnya, tapi tidak sedikit yang sekadar mencari sensasi dan tentunya dengan berbagai latar belakang kepentingan.
Masyarakat dalam hal ini berada pada posisi konsumen informasi yang karena begitu banyak yang masuk ke kepala melahirkan kebingungan sehingga banyak yang sulit membedakan mana yang benar dan salah.
Penting Edukasi Literasi
Maraknya penyebaran berita bohong tidak terlepas dari perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi informasi serta dorongan kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi. Keberadaan media sosial juga menjadi salah satu yang ikut memicu penyebaran berita bohong. Di sisi lain masyarakat bebas mengakses dan memproduksi informasi tanpa memiliki pengetahuan yang cukup dalam memperlakukan teknologi komunikasi. Sementara banyak diantara masyarakat yang sesungguhnya tidak siap menghadapi kemajuan teknologi dan kebebasan informasi. Derasnya arus informasi membuat masyarakat bingung untuk memilih dan memilah fakta dan informasi sehingga menganggap semua yang beredar di media sosial sebagai sebuah kebenaran. Masyarakat juga tidak memahami kerja media sehingga apa yang tampil di media seolah layak dijadikan sandaran dalam berprilaku dan mengambil keputusan karena menganggap media sebagai sumber kebenaran.
Maka tidak heran ditengah kebingungan dalam memaknai informasi yang dipublish di media sosial, masih ada saja yang latah menyebar hoax. Padahal ancaman hukuman kepada para pelaku penyebar hoax terbilang berat. Ironisnya banyak dari masyarakat yang tidak sadar ikut terlibat dalam menyebarkan berita bohong karena ketidaktahuannya. Kondisi ini yang dimanfaatkan para produsen berita hoax.
Untuk itu edukasi literasi kepada masyarakat menjadi penting sebagai salah satu upaya mencegah hoax. Masyarakat harus diberi pengetahuan dan kemampuan memilih dan memilah informasi dan menggunakan media sehingga bisa lebih kritis dan bijak menggunakan media sosial yang pada gilirannya akan melahirkan partisipasi dalam memberantas hoax.
Literasi sendiri adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar masyarakat sebagai konsumen media menjadi sadar tentang cara media memproduksi dan menyebarluaskan imformasi. Kesadaran semacam itu akan membuat masyarakat lebih selektif dan kritis dalam mengkonsumsi dan memperlakukan informasi dan menggunakan teknologi komunikasi.
Literasi media muncul dan mulai sering dibicarakan karena media seringkali dianggap sumber kebenaran, namun pada sisi lain media juga sering dimanfaatkan sebagai medium untuk pihak yang berkepentingan. Contoh sederhana, ketika terjadi sebuah peristiwa banyak wartawan ataupun masyarakat yang berkumpul merekam apa yang terjadi. Tidak berhenti disitu, hasil rekaman selanjutnya diedit dengan menampilkan adegan demi adegan dan bisa jadi membuang sebagian cuplikan peristiwa karena dinilai tidak penting atau kurang menguntungkan. Bila merujuk pada kerja bagaimana pesan atau informasi diproduksi, maka artinya informasi atau berita yang ditampilkan media, bukanlah laporan peristiwa yang utuh, tapi potongan adegan yang disusun sehingga pesan yang sampai ke publik memiliki makna berbeda dan bisa jadi disesuaikan dengan kepentingan media. Sementara para pembuat konten berita bohong kerap menggunakan potongan atau cuplikan peristiwa dan menggabungkan dengan adegan peristiwa lain sehingga pesan atau informasi yang muncul ke permukaan nerbeda dari fakta sebenarnya.
Dalam konteks ini, masyarakat sebagai konsumen media massa, sudah saatnya untuk lebih aktif dan tidak pasif dalam menerima pesan atau informasi dari media. Kepekaan dan tingkat pemahaman yang baik terhadap pemberitaan media maupun informasi yang tersebar di media sosial, menjadi kunci guna mencegah salah persepsi atau keputusan dalam tindakan. Media literasi menjadi jawaban agar masyarakat menjadi kritis, peka terhadap informasi media massa, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas masyarakat itu sendiri.
Dasar dari media literasi sesungguhnya adalah kegiatan yang menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat dan sesuai kebutuhan yang ada. Dalam media literasi ada tiga bagian yang dapat digunakan oleh individu sebagai anggota dari masyarakat yakni memilah, menyeleksi informasi sesuai dengan kebutuhan intelektual yang diinginkan. Silverblatt menyebutkan ada empat tujuan literasi media, yaitu kesadaran kritis, diskusi, pilihan kritis, dan aksi sosial.
Melalui media literasi masyarakat dapat lebih kritis dalam mengakses dan menkonsumsi isi media dan mampu menyeleksi informasi yang sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan referensi yang ada. Individu sebagai bagian dari masyarakat juga diharapkan mampu menjawab informasi yang tersebar sehingga tidak salah dalam mengambil keputusan atau tindakan. Paling terpenting melalui media literasi, masyarakat tidak lagi sembarang menshare informasi. Sudah seharusnya masyarakat berdaya menjadi bagian dalam pencegahan berita bohong.