KUBU pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subiango-Sandiaga Uno dianggap mengabaikan pendukung-pendukungnya yang terjerat kasus hukum. Dua kasus yang belakangan muncul menjadi acuan penilaian, setidaknya menurut pengamat politik UPH yang juga Direktur Eksekutif Emrus Corner, Emrus Sihombing.
Kasus yang pertama yaitu soal Ratna Sarumpaet yang baru saja menjalani sidang perdana kasus penyebaran berita bohong. Yang kedua yaitu kasus ibu-ibu di Karawang yang perkaranya masih diproses kepolisian.
Sebelumnya, Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi, Suhud Alynudin menyebut Ratna sudah tidak memiliki kaitan apapun dengan Prabowo-Sandi ataupun timsesnya. Ini disampaikan Suhud menanggapi acungan salam dua jari Ratna di sidang perdananya, Kamis (28/2/2019).
Demikian halnya dengan kasus ibu-ibu penyebar berita Jokowi bakal melarang adzan dan melegalkan pernikahan sesama jenis di Karawang. Emrus menilai, dari dua peristiwa tersebut kubu Prabowo-Sandi seolah “cuci tangan”.
“Bukankah di awal sebelum kasus ini terbongkar mereka membela habis? Tapi nyatanya setelah Ratna mengakui kebohongan, mereka manarik diri. Seakan-akan perilaku mereka sangat tergantung dari kepentingan politik,” tutur Emrus saat dihubungi, Jumat (1/3/2019).
Emrus menjelaskan, dalam politik itu ada politisi negarawan dan politisi politikus. Politisi negarawan adalah kelompok politisi yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, serta jabatannya sebagai amanah. Sementara politisi yang politikus adalah pihak-pihak yang selalu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. “Itulah yang menjadi pertanyaan kritis kita,” ujarnya.
Karena itulah, dia mendorong aparat penegak hukum untuk membongkar aktor politik dari kasus-kasus tersebut. Polisi, kata Emrus, tidak cukup hanya menyidangkan Ratna Sarumpaet. Namun polisi juga harus menangkap aktor di balik kebohongan publik yang dilakukan Ratna. Termasuk dalam kasus emak-emak di Karawang.
“Polri harus membongkar aktornya, siapa di balik itu. Karena ini sudah di luar batas. Emak-emak yang di karawang ini kan orang-orang polos, bisa saja ada aktor-aktor politiknya. Saya tidak yakin itu inisiatif dari emak-emak untuk menyebarkan sesuatu yang sangat tidak mendidik,” papar Emrus.
Secara politis, lanjut Emrus, siapa pun aktor politik itu akan cuci tangan. Pasalnya, jika ada pihak-pihak yang mengaku berada di belakang gerakan tersebut, tentu akan mempengaruhi elektabilitas mereka di 17 April nanti. Terkecuali jika pihak Kepolisian bisa membongkar siapa aktor di balik itu.
“Saya kira yang paling utama adalah membongkar siapa di balik itu. Kita dorong Kepolisian untuk membongkarnya, karena itu telah merusak tatanan demokrasi kita. Kita tidak peduli partai atau nonpartai. Ini pintu masuk agar demokrasi kita ini berjalan baik. Saya pikir pembongkaran menjadi satu kunci,” jelasnya.
“Sekarang hanya menduga-duga. Tetapi dari pesan-pesan yang ada jelas memberikan keuntungan politik kepada kekuatan politik tertentu dan merugikan kelompok politik yang lain yang terkait dengan Pilpres,” sambung Emrus.